Waktu itu saya sedang mengobrol santai dengan dua orang teman saya soal
rencana liburan keluarga kami masing-masing. Seru sekali, perjalanan pulang
jadi tidak terasa walaupun macet. Saya bercerita pada mereka bahwa saya akan ke
Yogjakarta. Ini adalah perjalanan jauh pertamanya Liv, waktu itu usianya masih
6 bulan.
"Wah, bakalan cape kamu mangku Liv terus." Salah satu teman saya berkomentar.
"Nanti pake car seat kok mbak, jadi ga nggendong terus, paling
digendong kalo pas nenen aja. Lagi pula lebih aman" Saya menimpali.
Kedua teman saya rupanya tidak setuju.
"Lebih aman gimana sih? kan kasian anakmu belum bisa duduk sudah
didudukkan. Mendingan kamu pangku."
Saya menjelaskan ke mereka kalau Liv sudah bisa duduk dan lebih aman
di infant car seat karena bla..bla..bla...
Entah karena mereka lebih berpengalaman, atau karena benar-benar peduli
dengan saya, atau merasa saya terlalu menggurui, mereka tetap mendebat dan
berargumen. Perbincangan yang tadinya bersahabat, akhirnya mengarah pada
judgement. Bau obrolan juga sudah bukan di ranah memberi masukan, tapi lebih
pada mendikte. Mereka mulai melontarkan pendapat mereka soal kemiringan
sandaran car seat, kemampuan bayi 6 bulan untuk duduk, frekuensi saya
mendudukkan Liv di car seat dengan pokok ide yang masih sama bahwa duduk di car
seat tidak aman. *tepok jidat
Mungkin waktu itu, saya tidak perlu terpancing. Seharusnya saya diam saja,
atau mengiyakan saja walau nanti tidak dilakukan, tapi nyatanya saya
tetap pada pendirian..dan eh.. si mulut ini tiba-tiba nyeletuk...
"Sudahlah, saya tau yang terbaik buat Liv"
Final statement, tidak ada lagi komentar. Saya menghela nafas panjang. Saya
pikir waktu itu masalah selesai.
Ternyata eh ternyata..keesokan harinya di lounge saat makan siang, saya
menyapa salah satu diantara mereka, dan ups...ga direspon. Mungkin ga
denger kali ya.. saya sapa sekali lagi, tetap saya dicuekin gitu.... whatt??!!
saya didiamkan?? kenapa? karena saya ngotot pada pendirian saya dan saya
ekspresif mengatakan "tidak" pada apa yang saya rasa tidak benar. Mungkin
dari versi mereka, saya tidak tahu terimakasih dan sombong karena merasa paling
benar... (mmmm emang ga siih?)
Kejadian diatas adalah salah satu dari belasan, mungkin puluhan kali saya
terjebak dalam situasi seperti itu selama 9 bulan saya jadi ibu baru. Tidak
semua berakhir tragis siy..(Lebaii) seringkali saya cuma senyum kecut aja atau diam.
Akhirnya saya menyadari bahwa kesulitan mengasuh anak justru bukan datang dari
si anak, (untuk saat ini) tapi justru dari orang-orang sekitar. Suka tidak suka, saya harus terima konsekuensinya.
Lain cerita, Salah seorang teman saya, memiliki bayi berusia 5 bulan. Dia mengaku merasa sangat bersalah karena Ia memberi bayinya susu formula saat Ia bekerja, bukannya
ASI perah. Perasaannya ini diperparah dengan ibu-ibu sekitar rumahnya yang mengatakan
bahwa bayinya adalah“anak sapi”, bahwa dia tidak memberi hak yang seharusnya
didapat anaknya, bahwa pemberian ASI eksklusif sudah menjadi Peraturan pemerintah dan menjadi wajib
hukumnya.
Yang bisa saya lakukan saat itu Cuma menghibur. Tapi saya kok ya gemes sama ibu-ibu komplek
teman saya itu. Okelah mereka memang benar, *soal ASI ya bukan soal anak sapi* ,
tapi apa mereka tahu bahwa teman saya ini tulang punggung keluarga, Janda sejak
putrinya dalam kandungan, harus bekerja 12 jam dengan intensitas stress tinggi
dan jadwal yang sangat padat which is tidak mungkin melakukan ritual pumping. Apa
ya mereka tahu bahwa si ibu sebenarnya sangat mendambakan untuk dapat memberikan
hak putrinya. Bukan tidak mau, hanya kondisi yang tidak mengijinkan!! Waktu teman saya sudah
dengan berlapang dada menjelaskan bahwa ASI-nya tidak bisa mencukupi kebutuhan bayinya dan para ibu itu tetap ngeyel dan
judging, apa perlu mereka tahu detailnya? * weeks ikutan esmosi*
Menjadi ibu baru memang gampang-gampang susah. Beberapa orang mungkin
beranggapan bahwa mereka belum cukup ilmu untuk merawat si kecil. Iya siy...
masukan dari orang sekitar akan sangat membantu, tapi itupun ada batasnya. Melontarkan
pendapat, selama tidak menyakitkan akan sah-sah saja. Memberi informasi yang
dirasa benar juga ga ada salahnya. Tapi soal apakah si Ibu mau melaksanakannya
atau tidak, itu terserah orang tua. Toh resiko juga akan ditanggung orang tua
sendiri, bukan ditanggung orang lain. Terdengar egois ya?? Memang, tapi saya
rasa itu juga yang diinginkan orang tua yang sudah pernah dihakimi.
Semua ibu, saya yakin, ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Hanya memang
definisi “terbaik” ini bisa jadi berbeda pada tiap orang. Kalau memang berniat
membantu, menurut saya sekalian harus mau susah, contoh pada kasus teman saya
tadi niy..dibantu untuk ke konselor ASI. Atau dicarikan pekerjaan yang lebih
fleksibel. Itu baru namanya membantu, bukan judging. Tapi sayangnya, tidak
semua orang berbuat demikian, secara… ngomong memang lebih gampang daripada
bertindak ya…
Yang sebenarnya paling dibutuhkan bayi adalah orangtuanya, terlepas dari
benar atau salahnya pandangan orang pada cara orangtua membesarkan anaknya,
lingkungan harus menghormati cara mereka. Menurut saya itu hak prerogatif
orangtua dan ranah yang tidak boleh orang lain cawe-cawe, kecuali orang tua sendiri yang meminta atau
mempersilahkan.
Well...saya pribadi berharap agar saya selalu tau dan mampu memberi yang
terbaik buat Putra-putri saya. Bila saya sudah sampai pada stage ini, Saya harap
saya mampu menjadi orang tua yang bijaksana, yang tidak akan judging orang tua manapun
yang tidak sependapat dengan saya.
Hope for the best for our kids.
cross fingers.
Hope for the best for our kids.
cross fingers.